Tepat jam 02.45 dini hari, aku terbangun dengan tersentak,
karena suara tangisan anakku yang masih berumur sembilan bulan menghentikan
mimpi indahku. Dengan gontainya aku bangun, dan menuangkan dalam botol susu 2
sendok susu beserta 120 ml air. Kuberikan pada anakku, dengan hitungan detik
anakku memejamkan matanya kembali sambil mulutnya terus menyedot susu.
Aku pun berusaha memejamkan mataku kembali dan meraih mimpi
indahku, tapi mengapa pagi itu mataku tak bisa terpenjam apalagi terlelap. Aku
lalu membuka laptop dan berusaha manuliskan semua pikiran dan perasaanku. Kebiasaanku
adalah suka tiba-tiba ingin menulis. Ya, aku teringat ingin membuat tulisan
untuk seorang teman. Temanku yang sedang tertidur lelap dengan mimpi-mimpinya.
Ditemani oleh beberapa bantal dan guling, dan mungkin saja dia sedang mendekap
guling tersebut dengan hp masih ditangannya. Hmm…mudah-mudahan dia tidak lupa
membaca doa sebelum tidur.
Aku mulai…
Kau lahir pada tanggal 1 Januari 1982. Lebih muda dariku. Aku
mengenalmu sejak kau datang sebagai murid baru di sekolahku. Kau datang untuk
bergabung dengan kami. Aku yakin, kau merasa aneh dengan lingkungan pedesaan
yang penuh keterbatasan. Kau begitu
tampak keren dibandingkan teman lelaki yang lain. Aku cukup kagum padamu pada
saat itu, karena kau berbeda dengan yang lainnya.
Keluguanku begitu tampak, setiap aku bertemu denganmu,
jantungku berdegup kencang, bibirku kelu, dan tubuhku seakan gemetar. Ketika itu aku tak bisa menutupi rasa
kagumku. Kau adalah cinta pertamaku, tetapi bukan pacar pertamaku. Aku merasa
jadi pujangga saat itu, kita seperti menjadi seorang penulis yang handal saat
itu. Kita menulis tentang rasa sehingga bertambahlah koleksi surat di kotak
surat rahasiaku. Begitu aneh, pada zaman itu. Pacaran tapi tak pernah duduk
berdua apalagi bercanda. Syukurlah sehingga rasa itu tetap menjadi begitu indah
dan membuat penasaran.
Mungkin hanya sekejap, tetapi serasa begitu membekas dihati.
Kau pernah menjadi cerita hidupku.
Kau lelaki yang bersuara renyah, lelaki yang tegar dan
mandiri. Pada saat itu, kebetulan kau jauh dari keluarga yang lengkap, tapi kau
selalu terlihat ceria. Lelaki yang sangat tertutup, itu kesanku padamu, dan
sampai saat ini aku tak tahu cerita tentang keluargamu. Kau mengajariku untuk
lebih peduli dengan hidupku sendiri. Aku pernah melihatmu membeli sebuah sapu.
Aku saja yang seorang perempuan tak pernah membeli hal semacam itu. Aku makin
kagum padamu.
Kau tumbuh menjadi pria dewasa. Dengan sayapmu kau
mengembangkan hidupmu. Dengan kedua kakimu kau melangkahi semua imajinasimu.
Kedua matamu menatap luas seluruh nadi kehidupan. Waktu itu aku, selalu ingin
tahu keberadaanmu. Sampai suatu ketika kuliah, kita pernah dekat walau tak
saling mengungkapkan rasa. Bagiku itu sudah cukup.
Kau begitu manja sampai terkadang menutupi ketegaranmu. Aku
pernah sekali mengantarmu pergi berziarah ke makam almarhum ayahmu. Kau selalu
memegang tanganku. Sungguh saat menulis ini, aku meneteskan air mataku. Aku tak
pernah lepas menatapmu pada saat itu. Ketika kulihat kau meneteskan air mata
dengan doa-doa yang kau panjatkan untuk almarhum ayahmu. Ingin rasanya aku
mendekapmu saat itu dan memberikan kata-kata penghiburan. Tapi rasanya badanku
terasa kaku, bibirku terasa beku, dan tangan-tanganku terasa jauh untuk
menggapaimu. Dalam batinku, kau lelaki yang begitu penyayang, melankolis, dan
penuh dengan kedramatisan, tapi kau bukan lelaki yang romantis. Mungkin kau
tahu itu.
Kau adalah lelaki pertama yang mencium pipiku. Sungguh tak
terkira saat kau mencium pipiku, ingin rasanya aku membalas mencium pipimu,
tapi tetap aku begitu kaku dan salah tingkah. Mudah-mudahan kau tidak lupa,
atau mungkin saja melupakan karena tak begitu berarti bagimu. Sekali lagi tulisanku
ini bukan sebuah rayuan, tapi kejujuran. Sejak itu aku semakin tahu bahwa cinta
itu logis, cinta itu petualangan, dan cinta itu mengalami. Yang paling penting
adalah cinta itu memaafkan. Jika memaafkan berarti tidak untuk melupakan.
Dulu aku selalu mendambakan kau mengajakku untuk hidup
bersama, entah mengapa Allah lebih tahu kita mempunyai jalan yang berbeda. Hidup
itu sebuah pilihan. Kau selalu bilang padaku untuk selalu bersyukur. Kau selalu
setia mendengar curhatanku, walau kau tak pernah berani menemuiku untuk
menghapus segala kesedihanku. Kau selalu bilang padaku, kau memilih hidupmu dan
kau harus menanggung risikonya.
Sekarang aku sudah menikah dengan suami yang aku cintai.
Belajar darimu, aku mencoba untuk selalu bersyukur. Berbeda denganmu, kau belum
menikah. Aku tahu kau lelaki yang yang
penuh dengan komitmen hidup. Kau lelaki yang sangat tegar, kokoh, dan
penyayang. Bagimu, menikah itu adalah hal yang sangat sakral. Kau lelaki yang
penuh dengan idealisme. Rencana hidupmu akan lebih baik dibanding kemarin. Mungkin
kau sedang mengoleksi wanita-wanita kemudian kau seleksi dan akhirnya kau
pilih. Hehehe..
Usiamu bertambah sekarang. Usia 29 adalah usia yang paling
penting menurutku. Mengapa aku berpendapat seperti itu? Karena usia 29 adalah
usia persinggahan untuk menuju ke angka 30. Psikologis hidup yang berbeda,
foilosofi hidup yang berbeda. Semoga kamu akan melewatinya dengan penuh
kesabaran. Tahun ini kisah hidupmu akan makin bertambah. Kisah sedih dan akan
lebih banyak kisah bahagia yang akan mengisi hidupmu. Kau akan makin percaya
diri dengan menegakan kepalamu dan melihat apa yang ada di hadapanmu. Raih dan
gapai semua mimipi indahmu.
Aku sangat berharap dan menunggu kau memberikan
undangan pernikahan kepadaku, walau mungkin akan sedikit teriris hatiku. Aku
pasti akan bahagia melihatmu bersanding di pelaminan dengan wanita pilihanmu.